CERPEN_ BUDAK BAHAGIA
Sinar matahari begitu terik, kuusap
keringat yang mengembun di sekitar dahiku. Kota Surabaya memang selalu panas,
tak mempan gerutuku selama ini, hanya membuang energi untuk berkata-kata. Namun
untungnya, tak perlu berlama-lama di jalanan Surabaya. Tempatku untuk mencari gawean
tinggal beberapa meter dari pandangan. “Ahh akhirnya ada AC”, kata pertama yang
terucap setelah aku memasuki kantorku. Tepat pukul 07.00 WIB tempat sempit ini
sudah penuh dengan lalu lalang orang, terlalu dini memang, tapi seperti inilah
tempat kami. Bahkan Pak Dharmo, tukang kebun sekolah kami, pukul enam pagi
sudah mengayun-ayunkan sapunya, tak heran pukul tujuh tepat semua sudah tertata
rapi.
Dengan senyum mengembang hingga
menampakkan sedikit kerutan di mata tuanya, setiap pagi Pak Dharmo selalu
menyapa kami, “selamat pagi, Pak guru!” atau “selamat pagi, Bu guru”, aku
selalu merindukan sosok Pak Dharmo yang selalu bahagia itu. Entahlah, mungkin
sikapnya yang penuh gairah dapat menularkan sepercik semangat di pagi hari yang
sudah terasa panas dan sedikit menyebalkan bagi orang yang tidak pernah bekerja
di jalanan seperti kami.
Menjadi seorang guru tak
seperti yang diceritakan dalam buku
dongeng. Sedikit banyak kami selalu mendambakan imbalan yang setimpal dengan
pekerjaan kami. Bahkan beberapa teman kami rela menodai almamater yang
dipakainya demi mendapatkan upah yang lebih dan lebih lagi. Korupsi memang
godaan tiada akhir yang terus membayangi pikiran kami yang sudah tidak naif
lagi. Tapi sekali lagi, tak sedikit pula seorang guru abdi yang bekerja keras
untuk mencerdaskan anak bangsa. Begitulah hidup, tak ada yang benar-benar baik
dan tak sedikit juga yang merasa dirinya pantas diakui kepahlawanannya.
Aku yang terus memperbudak diriku,
bekerja terlalu keras, mengharapkan upah yang berlimpah, namun tak pernah
mengenal seperti apa arti kata bahagia. Bagi sebagian orang, materi yang tak
terhitung menjadi puncak dari kebahagiaan itu sendiri. Tapi aku, aku tak pernah
benar-benar merasa hidupku lebih indah setelah kugenggam ratusan rupiah hasil
keringatku sendiri. Aku tak pernah benar-benar merasa puas setelah kumiliki
aset yang tak bisa dimiliki orang lain. Sedangkan orang lain berlomba-lomba
meraih apa yang kugenggam, mereka tak benar-benar tahu bahwa aku juga tak cukup
bahagia dengan itu, entah kapan kebahagian abadi itu datang, aku tak
benar-benar tahu.
Aku bekerja untuk diriku sendiri.
Istri tak ada, anak pun tak punya. Bagiku, mensukseskan diriku adalah mimpi
yang pantas aku wujudkan. Prinsipku, ketika sudah berlimpah materi kugenggam,
seseorang yang tulus akan mendatangiku dengan sendirinya. Tapi apa, wanita yang
baik justru pergi karena merasa tak pantas untukku dan malah wanita buruk yang
berdatangan. Selalu saja kupastikan bahwa hidupku lebih dibandingkan budak
jalanan, mereka bekerja hingga mematahkan tulang mereka namun upah yang
diterima tak sebesar usaha mereka. Sedangkan aku, aku hanya membutuhkan otakku
dan sedikit tenagaku untuk mereka yang haus akan ilmu. Tapi sekali lagi, bukan
bahagia yang aku dapatkan.
Aku iri dengan Pak Dharma, setiap
kali aku bercakap dengannya, kata-kata manis mengenai keluarganya selalu
terlontarkan. “Alhamdulillah hari ini bisa makan 3x sehari Pak Guru,
alhamdulillah anak saya bisa membawa kendaraan sendiri, jadi dia tidak kerepotan
jika ada kegiatan mendesak”. Ucapnya seperti penuh syukur dengan hal yang
bagiku tak layak untuk disyukuri. Terkadang aku seperti merasa iba dengan apa
yang beliau utarakan, tapi anehnya senyumnya mengalahkan perasaan yang
sebenarnya ingin aku tuangkan.
Seiring bertambahnya usiaku, aku
mulai berpikir ini itu yang menggelisahkan hatiku. Sebenarnya untuk apa aku
mencari uang, untuk apa aku memiliki aset yang menggiurkan, untuk apa aku
berpenampilan bahagia sedangkan tak pernah kata yang benar-benar bahagia terlontarkan.
Sedangkan Pak Dharmo hidupnya yang begitu sederhana, tak pernah terpenuhi
mimpi-mimpinya yang sebenarnya dengan mudah aku dapatkan, namun hidupnya jauh
amat sangat mewah dimataku. Apa hidup tak pernah benar-benar berpihak pada
materi? Tapi tunggu, Pak Dharmo juga mencari materi dalam hidupnya. Jadi,
bagaimana cara mencari kebahagiaan hakiki yang aku idamkan?
Pak Dharmo pernah berkata kepadaku,
“Jangan terlalu mencari kebahagiaan Pak Guru, kebahagiaan itu sebenarnya sudah
ada saat ini, tapi Pak Guru tak pernah menghiraukan kebahagiaan itu” seolah
terpukul mendengar ungkapan beliau, di usianya yang sudah paruh baya itu beliau
tak pernah mendapatkan apa yang benar-benar ingin beliau dapatkan, tapi beliau
merasa sudah meraihnya hanya dengan bersyukur untuk kebahagiaan yang sudah ia
genggam saat ini. Meskipun itu bukan yang benar-benar beliau inginkan, tapi
keinginan tak seharusnya menjadi perisai yang dapat membutakan apa yang
seharusnya layak disyukuri saat ini. Dengan seiringnya waktu, kebahagiaan akan
menumpuk sejalan dengan hal terindah saat ini yang belum tentu semua orang bisa
dapatkan, bahkan orang paling kaya sekalipun. (AN)
Tidak ada komentar