SEPENGGAL KISAH PEBISNIS BAJAKAN, BISNIS TAK BERMAKSUD
Berbicara mengenai kecanggihan teknologi memang tidak ada habisnya,
apalagi di era yang serba modern ini. Namun, salah satu hal yang tetap terjaga
eksistensinya meskipun tergerus oleh zaman adalah buku. Sumber ilmu satu ini
memang selalu mendapat tempat di hati masyarakat. Meskipun buku berbasis online
atau e-book kini sudah mulai populer, namun buku yang terdiri dari
lembaran-lembaran ilmu tak pernah berhenti beredar.
Kebutuhan
akan buku di kalangan mahasiswa dapat dikatakan mencapai prioritas. Untuk itu,
beberapa buku bajakan (palsu) pun kuat beredar di tengah mahasiswa. Alasannya,
buku asli terkadang sukar ditemukan, dan ketika sudah ditemukan, harganya pun relatif
mahal. Apalagi bagi mahasiswa rantau yang untuk makan dan jajan harus berpikir
ulang dua kali. Tentu buku bajakan menjadi alternatif yang cukup digemari. Sekali
lagi karena cepat dan murah. Bahkan beberapa mahasiswa sendiri menjadi distributor
buku bajakan tersebut. Dengan kata lain, penjual buku bajakan tidak hanya
masyarakat biasa namun mahasiswa/pelajar juga menjadi pelakunya.
Salah
satu mahasiswa berinisial SA mengaku tak pernah ada niatan untuk menjual buku
bajakan sedari awal. Mahasiswa Universitas Airlangga, Surabaya tersebut lumayan
terkenal menjual buku foto copyan di kalangan teman sejurusannya. Ketika ditanya
ia pun sebenarnya menjual buku bajakan karena ketidaksengajaan. Awalnya, teman-teman
satu jurusannya mengeluh kesusahan mencari salah satu buku ajar. Kemudian dia
ingat memiliki seorang kenalan distributor buku. Ia tak serta merta menawarkan
buku bajakan. Namun ketika teman-temannya ditawari ingin membeli buku asli tapi
lama atau buku bajakan tapi cepat, hampir semua kawannya ingin buku yang cepat
sampai ke tangan. Dengan begitu, untuk pertama kalinya SA menjual buku bajakan
kepada teman satu jurusannya.
SA
memulai bisnis buku bajakakannya, satu setengah tahun silam, sekitar
pertengahan 2015. Ia mengaku tidak sendiri, ia dibantu oleh teman satu kosnya. Mereka
berdua sama-sama memiliki ketertarikan terhadap buku, mencari buku dan membeli
buku. Sehingga serasa memiliki teman yang satu suara, SA dan temannya memulai
bisnis buku bajakan tersebut. Namun, SA tidak pernah mengcopy atau menggandakan
buku-buku itu sendiri, ia selalu mencari distributor yang ia percaya. Dengan
kata lain, SA merupakan distributor juga. Bedanya, SA dan kawannya tidak pernah
sengaja menjual buku bajakan jika tidak ada yang membutuhkan. Jadi, hanya
ketika ada request atau permintaan dari teman-teman satu jurusannya saja
SA mulai menjual buku bajakan.
Ketika ditanyai
adakah perasaan takut dalam benaknya ketika menjual buku bajakan, SA mengaku
takut. Namun, karena sekali lagi ia hanya ingin membantu kawan-kawannya yang
kesusahan mencari buku. Ia mengaku tidak terlalu mencemaskan perasaan takut atau
apapun. Ia merasa bangga dapat membantu teman satu jurusnnya, ia juga mengaku
bahwa temannya oke oke saja membeli buku bajakan. Teman-teman satu jurusnanya
bahkan memesan kolektif kepadanya, artinya tidak hanya satu orang dua orang
saja. Bahkan buku tersebut dapat sampai ke tangan pembeli hanya dalam waktu
satu malam. Tidak perlu repot-repot keluar rumah, cepat, dan tentu saja murah.
Berbicara
mengenai keuntungan yang ia raup, SA tidak serta merta menyebut angka. “Ya
lumayan lah kalau buat mahasiswa”, ujarnya. Dengan demikian bisnis ketidaksengajaannya
tersebut lumayan dapat menghidupinya sebagai mahasiswa rantau. Namun, tak
pernah terlintas di benaknya untuk menjual buku bajakan secara intensif. Maksudnya
benar-benar menekuni bisnis tersebut untuk memperoleh keuntungan yang lebih
besar. Cukup ketika ada permintaan dari teman-temannya saja. Salah satu
mahasiswa (HA), pembeli buku bajakan SA mengatakan kalau lebih mudah dan cepat
mencari buku bajakan daripada asli. Untuk itu, tak jarang pula ia membeli buku
bajakan sebagai sumber mendapatkan ilmu, meskipun ia tahu hal tersebut tidak
dibenarkan.
SA
memandang seseorang yang menjual buku bajakan tidak selalu negatif. Semua tergantung
budaya dan kebijakan dari pemerintah itu sendiri. Di Surabaya, Jogja, dan
Malang misalnya. Bisnis buku bajakan dianggap biasa, karena memang pusatnya Universitas.
Pemerintah Kota Surabaya telah memberi ruang untuk distributor buku bajakan, “kampung
ilmu” misalnya. Meskipun UU pelanggaran hak cipta sudah jelas, yakni telah
melarang hal-hal yang berbau melipatgandakan karya orang lain tanpa izin untuk kepentingan
bisnis, namun hal ini seperti mendapat pemakluman. Menurut UU Nomor 19 Tahun
2002 tentang hak cipta, ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang
ilmu pengetahuan, seni, dan juga sastra berupa buku-buku, program komputer,
pamflet, tata letak karya tulis yang di terbitkan dan semua hasil karya tulis
lain seperti ceramah, kuliah, pidato, dan lain sebagainya.
Perihal
buku bajakan apakah salah atau tidak adalah murni relatif persepsi dari
masyarakat itu sendiri. Banyak orang mengatakan dilarang, namun nyatanya penyebaran
buku bajakan tidak pernah surut. Hal ini semakin dianggap lumrah ketika telah
menyangkut mahasiswa, yang notabenenya selalu mencari barang murah. Namun sekali
lagi, perlu diketahui bahwa hak cipta bersifat deklaratif. Artinya pencipta
mendapatkan perlindungan hukum seketika setelah suatu ciptaan dilahirkan. Jadi,
pemilik hak cipta memiliki hak eksklusif dimana hanya pemilik hak cipta yang
bebas melaksanakan pemanfaatan hak cipta tersebut. sementara orang atau pihak
lain di larang melakukan pemanfaatan hak cipta tersebut tanpa izin pemilik hak
cipta. (AN)
Tidak ada komentar